WOW, Makam Keturunan Raja Ada di Dalam Rumah Warga Solo

0
211

MASFENDI | Surakarta – Ada temuan menarik ketika sekelompok orang yang tergabung dalam Solo Societeit melakukan penjelajahan disertai diskusi di kawasan bersejarah sekitar Mangkunegaran Solo, pertengahan Mei lalu.

Tempat itu di antaranya langgar kuno bernama Al Rowatib di RW 001 Kestalan yang dibangun pada 1935 dan toko cat ABC di seberang plakat Pasar Legi. Toko ABC dan beberapa bangunan di sekitarnya diyakini menempati tanah yang dahulu merupakan halaman rumah cucu dari Mangkunagoro I yang diangkat menjadi penghulu bagi Masjid Kauman.

Saat sampai di salah satu bangunan di Jalan Sutan Syahrir dekat dengan Rumah Deret Ketelan, peserta jelajah sejarah itu dibuat kaget dengan keberadaan empat makam kuno di dalam salah satu bangunan rumah warga.

Kondisi makam itu membuat peserta jelajah merasa miris karena makam tersebut seperti berada di sebuah bangunan yang dipakai sebagai gudang. Di sekitar makam terdapat barang-barang seperti galon kosong, kardus bekas, hingga botol yang dalam kondisi kotor.

“Salah satu makam tersebut adalah makam Raden Ayu (RA) Supartinah yang merupakan putri Mangkunagoro IV. Ya itu kata leluhur saya. Saya sendiri tidak tahu pastinya. Yang jelas memang di salah satu makam terdapat tulisan Supartinah dalam aksara Jawa,” kata pemilik rumah, Ny. Sutadi, saat diwawancarai Solopos.com.

“Sedangkan yang lainnya tidak ada (tulisan). Kemudian setiap kali ruwah, makam sini masih sering didatangi banyak abdi dalem,” dia menambahkan.

Dalam sejarah Mataram Islam, fenomena makam di area masjid bukanlah hal aneh, seperti terlihat di Masjid Kota Gedhe. Ditemukan makam di belakang ruang sembahyang. Jasad Ki Gedhe Pemanahan, Panembahan Senapati, dan Sunan Seda ing Krapyak sebagai peletak dasar kerajaan Mataram-Islam disemayamkan di tempat ini.

Tak jauh dari makam yang tersembunyi di dalam gudang tersebut, sekitar 50 meter ke arah utara ada bekas rumah Mangkunegoro I yang juga dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa. Bekas rumah Pangeran Sambernyawa kini dipakai untuk tempat tinggal oleh warga bernama Mintorogo.

Nama Mintorogo tak asing lagi di telinga sebagian masyarakat Solo mengingat kiprahnya di dunia pariwisata. Mintorogo adalah Ketua Pokdarwis Kota Solo. Bukan hanya itu, dia dikenal juga sebagai perajin kerajinan kaca yang produknya kerap dipesan oleh pesohor, termasuk Presiden Joko Widodo.

“Rumah ini menjadi rumah kami sejak 1930-an. Kebetulan eyang saya masih trah MN I. Ketimbang jatuh ke tangan orang lain, eyang akhirnya memutuskan membeli rumah ini. Tapi tidak dipakai. Sempat kosong sampai 10 tahun bahkan. Kebetulan saya sendiri masuk 1978 sampai sekarang. Tentu harus renovasi cukup banyak,” jelas Mintorogo menyambut 60 peserta jelajah yang tiba di rumahnya.

Penggagas pembentukan Komunitas Solo Societeit, Heri Priyatmoko, menjelaskan alasan Solo Societeit menggelar jelajah dan diskusi di Kampung Kauman, Kestalan, karena muncul sepenggal pertanyaan, mengapa gema Kauman Mangkunegaran meredup hingga jarang dikenal oleh masyarakat Solo khususnya.

Dia menilai hal itu bisa terjadi karena enam faktor, yakni dipindahnya masjid Nagara dari Kauman ke selatan menyeberangi Sungai Pepe, tepatnya di barat Pura Mangkunegaran. Kedua, tidak memiliki gelar Sayidin Panatagama Kalifatullah yang disampirkan pundak MN I berikut penerusnya.

Ketiga, kepentingan ekonomi lebih mendominasi Praja Mangkunegaran ketimbang kepentingan keagamaan. Keempat, kesadaran keagamaan dalam diri MN IV relatif rendah dibanding kepiawaian dalam bidang ekonomi dan spiritual Jawa.

Kelima, kejayaan pabrik gula Colomadu (1861) dan Colomadu (1871) kian meyakinkan MN IV untuk getol menggeluti sektor ekonomi, bukan menekuni agama. Dalam pemikirannya, industri gula yang dikembangkan dengan sungguh-sungguh ternyata berhasil menciptakan “surga” di dunia nyata.

Terakhir, masyarakat Kauman Mangkunegaran tidak sanggup merespons perubahan zaman serta tidak memiliki pekerjaan sambilan untuk menopang hidup, selain menjadi abdi dalem istana.

“Kita tahu selama ini masyarakat Solo melihat Kauman itu selalu di daerah-daerah Pasar Klewer. Padahal dulu di kawasan Mangkunegaran juga Kauman. Kauman yang tidak kalah dalam konteks sejarahnya, cerita maupun makna budayanya, tapi di sini hilang karena ada enam faktor itu,” kata Heri.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here